Sunday, April 1, 2007

Makassar: A Place for Peace?

Makassar: A Place for Peace?
Mungkin ada diantara rekan Pembaca yang bertanya, mengapa judul tulisan ini diakhiri dengan tanda ´?´.

Bagi saya, Makassar sebagai ´A Place for Peace´ adalah sebuah bentuk cita-cita dalam state of mind saya sendiri, seorang warga biasa dan sebagai seorang Perantau.

Sehingga, apakah ´cita-cita´ tersebut -adalah dan atau- telah menjadi sebuah ´realitas´, tentunya hanya Anda, warga kota Makassar sendirilah yang masih berdomisili di Kota Angingmammiri bisa menjawabnya. Apakah ´cita-cita´ tersebut memang nyata membumi atau hanya berupa harapan seorang mantan warga dan rakyat biasa, yang bernama: PatanYali. ´Realitas´nya selalu kembali dan berada pada level ´state of mind´ kita masing-masing.
--------------------------------------
Hari ini, persis empat tahun lalu, Kamis, 3 April 2003, bertempat di Lapangan Karebosi, Makassar berkumpul sekurangnya 200 orang, mulai dari Rektor dan Pimpinan hampir semua Universitas, mahasiswa dan unsur Pemerintah kota Makassar, Agamawan serta Budayawan, dalam sebuah ´demonstrasi´ damai, dengan agenda ´Makassar for Peace´.

Pada kesempatan itu, naskah ´Makassar for Peace´ dideklarasikan oleh Walikota Makassar.
´Makassar for Peace´ adalah sebuah ´petisi´ yang terdiri dari lima butir, dimana dengan adanya aksi tersebut, memungkinkan setiap warga masyarakat Makassar -dari berbagai lapisan- untuk membawa ´image´ kota Makassar sebagai ´A Place for Peace and Cultural Understanding´, tidak saja bagi warganya sendiri, yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama dan budaya. Tetapi juga visi ´A Place for Peace and Cultural Understanding´ tersebut tersuarakan ke berbagai penjuru dunia, diantaranya melalui situs ´Earth for All´.

Pada tahun yang sama (kalau tak salah) April 2003, diperingati sebagai ulang tahun terbentuknya BP3M (Badan Promosi dan Pengembangan Pariwisata Makassar) bertempat di Sahid Hotel jalan Ratulangi, Makassar. Pada kesempatan tersebut, Bapak Nico Pasaka, selaku Ketua ASITA Sulawesi Selatan, sebagai salah satu Pembicara pada event tersebut, juga berkesempatan untuk mempresentasekan program ´Makassar for Peace´ kepada para undangan, diantaranya Walikota Makassar (pada waktu itu dijabat oleh HB. Amiruddin Maula) Ketua PHRI Sulsel H. Andi Ilham Mattalatta, Kepala Dinas Pariwisata serta Wakil, H. Abdullah Bone dan H. IR. Andi Karim Beso Msc, serta kalangan industri, Lsm, mahasiswa. media, dll.

Selanjutnya thema ´Makassar for Peace´ juga menjadi topik dalam perayaan Hari Perdamaian Sedunia, 21 September 2003 dalam bentuk Pameran Kartun dan Karikatur, berlangsung selama seminggu dan bertempat di Museum Kota. Dikuti seniman-seniman kartun dan karikatur asal Makassar, seperti Zainal Beta, pelukis tanah liat (gaya khas original) yang tidak hanya mengantungi penghargaan skala Nasional tetapi juga skala Internasional. Ada juga, pelukis naturalis-realis Mike Turusi, dan puluhan lainnya penyandang bakat sangat luar biasa yang selama ini belum terlirik sebagai potensi seni dan kreatifitas daerah kita.
(OOT: Hal yang tidak begitu mudah untuk mengaitkan karya karikatural dengan thema ´peace´. Ini terbukti oleh ´keteledoran´ kartunis asal Denmark, 2 tahun kemudian yakni tahun 2005. Bukannya ´peace´ yang menjadi resultnya, melainkan kekisruhan yang terjadi diberbagai belahan bumi ini. Haruskah mereka belajar pada seniman kartun kita?)

Akhir dari pameran tersebut, yakni 27 September 2003 adalah Hari Pariwisata Sedunia yang juga diperingati di Makassar, bertempat di Pantai Losari. Thema utama dari peringatan tersebut juga adalah ´Makassar for Peace´ yang saat itu dihadiri oleh -sekurangnya lima ribu warga masyarakat, pengusaha, Lsm, mahasiswa serta diliput oleh beberapa stasiun televisi swasta Nasional. Kali ini dikaitkan dengan thema lingkungan hidup, tersimbolkan dengan gerak jalan bersih-bersih ratusan peserta yang di´Nakhodai´ oleh Bapak H. Abdullah Bone, saat itu menjabat Kadis Pariwisata, Makassar.




˝Makassar for Peace˝ adalah sebuah formulasi ´image recovery program´ yang dilaksanakan secara ´berlapis´. Dan menurut penuturan Mr. Warren Whittaker (Bergelar Daeng Gassing) instruktur MTTP (Makassar Torusim Training Project, Ausaid) langsung kepada saya, bahwa model demikian itu belum pernah dilakukan di kota manapun di Indonesia.

Sebagai Penggagas dan Pencetus ´Makassar for Peace´, dan sebagai warga biasa kota Makassar, saya menyampaikan terima kasih atas dukungan pihak-pihak terkait dan masyarakat Makassar umumnya, yang ikut menyelenggarakan berbagai kegiatan yang terkait dengan thema ´Makassar for Peace´ termaksud, empat tahun lalu.









Empat Tahun Kemudian...
Saat ini, saya sedang berada di Croatia, Negri yang berstatus lima besar tujuan wisata dunia (No:1 di dunia pada tahun 2005, versi Lonelly Planet) diatas Italia dan Amerika Serikat, saya masih tetap mengupayakan untuk terus mengangkat citra kota kita yang sama kita cintai. Meskipun sudah tidak lagi berdomisili di Makassar.

Dengan beberapa sahabat di Negara ini, saya memformulasikan apa yang kami sebut sebagai ´Inclussor´. Sebuah kolaborasi yang terdiri dari Ngo dan Perusahaan, yang kami ´racik´ sebagai medium untuk selanjutnya membuat beberapa program yang berkaitan dengan ´how to promote your city and doing business at once´. (Sejujurnya kami akui agak lambat, akibat kesibukan masing-masing sehingga masih dalam tahap konsepsi dan draft. Meskipun telah didaftarkan pada Perlindungan Hak Intelektual Negara Croatia.)

Hal lainnya (membangun image kota), adalah dengan jalan menggunakan teknologi informasi. Sehingga, apa yang ada dalam benak saya -empat tahun lalu- adalah bahwa setiap warga kota, saya yakini, mereka bisa, sanggup dan mampu bertindak sebagai ´Duta Makassar´! Dan secara on-going process tetap bisa mengalir dan mewujud kedalam cita dan citra Makassar sebagai ´A Place for Peace and Cultural Understanding´.

Hingga disini, tidak menutup kemungkinan terlontar komentar khas made-in Makassar: Punna upa´...

Punna upa´?...
Tidak begitu salah, jika sekiranya ada yang berpendapat ˝Aah, punna upa´˝, ditengah-tengah maraknya berita-berita tanah air mengenai berbagai kekisruhan alam dan kesemrawutan sosial-ekonomi. Namun, diantara hiruk-pikuk berita-berita tersebut, selalu saja ada hal-hal kecil yang mungkin saja terlewatkan (thats what the blogs are for). Maka oleh karenanya, berikut ini saya -sebagai tukang sketsa- ingin membagi sebuah illustrasi kecil.

Beberapa waktu lalu, melalui berbagai milis, lokal maupun Nasional saya melempar wacana, yang bertajuk ´Human Scale City´. Nah, apa seng antu mae nikanayya ´Human Scale City´?

No comments: